Halaman

Minggu, 12 Mei 2013

*Mencintai Kelas, mencintai IPA.



*Mencintai Kelas, mencintai IPA..
Rasa-rasanya tulisan ini agak berat untuk diceritakan, tapi entah mengapa saya sedang berfilisofi mengenai Kelas –kelas kita. Ruangan itu bernama “Kelas” nama yang amat sederhana bukan, sederhana sekali. Tapi ruangan itu terkadang membuat tidak nyaman, atau nyaman sekali. Entah, tergantung kita berada pada posisi mana. Berkali-kali saya harus menikam hati saya, memahami semua takdir, bahwa saya benar-benar duduk di kelas IPA.
Bicara IPA , bagi saya adalah bicara belajar mencintai. Saya selalu mengibaratkan bahwa hidup sperti sedang membawa kendaraan, dan untuk kali ini saya banting stir ke kelas IPA, gelap.... hampa.... sedih rasannya. Ketika memulai berjalan di kelas ini.
Pada awalnya, saya sudah yakin sekali bahwa saya akan masuk IPS, niat itu sudah bulat sekali. Tapi, Tuhan berkehendak lain, menakdirkan lain. Saya sempat sesak melihat jam-jam pelajaran berhitung dan logika. Seperti sedang berada di negeri orang lantas mencicipi makanan khas yang sama sekali tidak cocok dengan lidah saya. Pada waktu itu, saya benar-benar merasa saya tidak mampu!.
Barangkali, ini adalah trauma yang sudah menikam pemahaman saya, selama bertahun-tahun. Saya ingat sekali, seorang guru SD telah membuat semangat dan harapan saya patah sekali, amat patah. Dan itu berberkas ke 3 tahun selanjutnya. Saya tidak pernah percaya pada kemampuan matematis saya. Bagi saya , saya masih murid yang Guru saya anggap adalah “Tidak mampu “.
Tapi perlahan kemudian, saya terus berusaha mencintai pelajaran yang berbau hitung menghitung, saya pernah merasa,  saya dan IPA adalah suami istri yang dinikahkan secara terpaksa, tapi pada akhirnya saya meyakini ini bahwa, IPA mungkin bisa mengantarkan saya kesuatu tempat, atau apapun yang bermanfaat bagi orang lan. Saya jadi teringat Ayah saya yang meninggal karena sakit, pada masa itu dokter jarang sekali. Tapi bukan berarti saya lantas ingin menjadi dokter. Tidak, saya tetap mencintai diri saya, mencintai apa yang telah menjadi darah saya. Saya mencintai murid-murid di sekolah, saya mencintai agama saya, saya mencintai dunia tulis menulis. Maka saya tetap ingin menjadi Guru dan berdakwah salah satunya dengan menulis.
Bagaimanapun, IPA adalah salah satu teman menapaki hidup,  saya rasa tidak ada ilmu yang tidak berguna di dunia ini, mungkin saya memang harus berlelah-lelah di kelas ini, belajar mencintai semua yang ada si IPA, terutama Pengaris, saya tidak suka memakai pengaris. Tapi pada akhirnya pengaris memang menjad barang yang penting. Semoga, dengan terus berusaha belajar dan belajar dengan berproses mencintai IPA, suatu hari nanti kelak... saya ingin benar-benar menjadi orang yang berguna di masa depan.
Setiap kali tidak sengaja bertemu guru-guru yang dulu meremehkan kemampuan saya, lantas mereka bertanya saya sekolah di mana ? dan saya akan ditanya mau ngambil IPA atau IPS ? Saya menjawab dengan tersenyum, “Saya sudah di IPA “ lantas mereka akan  tersenyum “Bagus, hebat kamu nak ... “
Saya tidak bisa menyebutnya hebat atau tidak, sepanjang saya di kelas itu hanya menjadi supu-supu (Sekolah pulang-sekolah pulang) tidak ada ilmu yang di pahami, Suatu malam saya pernah menangis melihat 11 target hidup saya, salah satunya adalah IPK saya harus  diatas 3,2. Saya membenak, benar-benar harus bekerja keras, berkali-kali saya dimarahi, diremehkan, semua mengangap saya anak yang pandai bukan ? Tidak, sejatinya saya tidak panadai dan saya lebih menyukai   kecerdasan.
Barangkali,belajar mencintai IPA membawa saya pada satu titik kebahagian, Tuhan mempunyai cara yang amat indah untuk mengajarkan sesuatu kepada saya, apa itu kerja keras, kerja cerdas, kesabaran dan doa. Apapun hasilnya, saya adalah tipe orang yang menerima. Semoga keikhlasan itu tetap bersemayam di diri saya, menerima semua apapun kehendaknya. Karena yang terpenting adalah proses bukan tujuan..
Sedikit banyak, kita harus memahami. Bahwa saya rasa kadang untuk menjadi A kita harus melewati jalan B, karena hidup bukan sekedar pilihan. Sebab, jika hidup hanya sebuah pilihan. Bagaimana jika kita ternyata mendapat pilihan ke sekian kalinya. ? Sudahlah, kita tutup catatan ini dengan damai
*Catatan ini untuk kita yang Gak bisa nyerah, karena gak ada kesempatan untuk nyerah..

Mataram, 09-05-13

Tidak ada komentar: