*Jejak
Bisu di Bandung
Khimarku
tertiup angin dari jendela kereta, aku menyipitkan mataku, lantas terdiam
takzim. Barangkali, aku memang sedang memikirkan sesuatu. Pada waktu
itu,beberapa bulan yang lalu, saya ingat sekali betapa gamang nya saya
merapikan barang-barang menuju kota Bandung, saya, ayah,mama, kakak laki-lakiku
dan kakak perempuanku. Kami semua berangkat ke kota Bandung.
Kota
yang tadinya tak pernah mau aku jejaki, hari itu saya merasa terpaksa sekali,
setiap hembusan nafas saya sekiranya mengambarkan betapa saya sangat gamang dan
gelisah. Betapa saya merasakah luka yang terpendam terbuka lagi. Saya masih
teramat sedih bila mengingat siapa saya sebenarnya, mengapa wajah saya terlihat
tidak mirip dengan Mama, apalagi dengan Ayah.
Dan
saya memang bukan anak yang lahir dari Rahim Mama, rahim wanita yang separuh
hidupnya adalah mendidik dan menyayangiku, mungkin ini memang kenyataan yang
harus saya relakan. Pada hari itu, kami ke Bandung untuk menemui seseorang yang
melahirkanku. Tapi apa dia sebenarnya pantas di panggil Ibu ? Dulu, saat saya
masih kecil, saya sempat berargumen bahwa yang pantas di panggil Ibu adalah
orang yang melahirkan, membesarkan dan mendidik. Dia melahirkanku , itu
tandanya dia memang harus aku panggil Ibu. Seharusnya, aku berani memanggil dia
dengan lembut dan penuh cinta. Tapi sayang, aku tidak pernah memanggil apapun,
tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun. Tidak pernah.
Saat
bertemu, tidak ada ekspersi berlebihan dari wajah Ibu, apalagi wajahku. Ya
Allah, aku tiba-tiba menjadi kejam sekali, aku hanya menatap dengan tatapan
kosong, tatapan polos bisa jadi itu amat menusuk dan menyakitkan di banding
marahku.
Saya
paham, barangkali Ibu kehilangan kemampuan Verbal nya saat bertemu dengan saya,
apalagi saya. Sudah sejak lama saya kehilangan kemampuan verbal saya untuk
mengungkapkan rasa apapun, karena sepertinya saya mati rasa. Saya tidak pernah
merasakan sakit yang luar biasa seperti ini, mengedap dan berkerak selama
bertahun-tahun.Saat saya dan keluarga ingin pamit pulang, Mama memintaku untuk
berfoto dengan Ibu dan kedua kakak laki-laki kandungku. Saya menolak dengan
keras, tapi Mama terus memaksa,seandainya bukan mama yang memnta , kalau saja
malam itu rasa hormatku hilang. Saya pasti akan meninggalkan mereka semua, dan
berlari memasuki mobil. Tapi tidak, saya memutuskan mengalah dan berfoto, tampa
senyum dan ekspresi.
Apalah
guna sebuah foto, tidak ada guna. Apa untuk sebuah kenangan ? saya tidak butuh
itu semua, bukankah aku tidak ada pada hidup mereka ?
Bukan
karena kehilangan Ayah dan Ibu serta siapa orangtuaku sebenarnya akan membuat
hidupku lebih nestapa, sesuatu yang lebih meululuhlantahkan hatiku adalah,
bahwa mereka tidak lagi melibatkan namaku dalam hidupnya, tidak mengucapkan
apapun ketika Idul Fitri, tidak mengingat tanggal lahirmu, tidak tahu bagaimana
menulis namamu dengan benar. .
Mataram,
Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar