Halaman

Senin, 01 Juli 2013

Isyarat ....

Aku menghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya, Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini snggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi  isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.

“Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahuia apa yang tidak sanggup saya miliki.” Kusudahi kisahku seraya menyambar botol bir yang tidak lagi jadi piala dan mendadak terlihat sangat menarik.

Mereka semua berpandang-pandangan, mencari sang juara. Aku menunduk dan memilih tidak ikut serta. Tahunan tidak mengecap alkohol, bir ini menjadi lebih dahsyat dari semua kisah sedih tadi.
Tiba-tiba kudengar mereka bertepuk tangan. Dia bahkan menyalamiku. Kisahku dinobatkan jadi juara, dan kini saatnya menentukan hadiah apa yang kumau. Siapa dan melakukan apa. Mereka begitu bersemangat menunggu tiah dari mulutku yang ternyata penuh kejutan. Untuk pertama kalinya aku menjadi bagian dari mereka, sekelompok sahabat temporer yang bertemu di satu tempat asing dan kelak hanya akan berkirim surat elektronik. Namun bukan itu yang kucari. Aku hanya ingin kembali ke tempatku, di belakang sana. Menikmati apa yang ku sanggup. Bukan di meja ini, bukan di sebelahnya, bukan bersentuhan dengan kakinya.
Malam itu, sebagai hadiah kisah sedihku tentang cinta sebatas punggung dan punggung ayam di negeri orang, aku memilih dia. Aku menyuruhnya pergi ke bar dan menyalakan sakelar lampu warna-warni tadi. Kemudian aku permisi pergi ke tempat dudukku semula, supaya sekembalinya ia nanti, diriku sudah berubah menjadi latar tak jelas yang tak perlu diajak bicara, Tempat ini kembali remang tidak romantis. Ia kembali menjadi sebentuk punggung yang sanggup kuhayati, yang kuisyarati halus melalui udara, langit, sinar bulan, atau gelembung bir.
Matanya cokelat muda.
Itu sudah lebih dari cukup.



Tidak ada komentar: